Sekarang kita melihat istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya yaitu Zainab binti Jahsy.
Zainab binti Jahsy
Nama aslinya adalah Barrah. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Zainab. Nama kunyahnya adalah Ummul Hakam. Ibu dari Zainab adalah Umayyah binti ‘Abdul Muthallib bin Hasyim bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Ibunya berarti bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur bapak Nabi. Kita simpulkan berarti Zainab binti Jahsy masih berhubungan kerabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sebagai sepupu beliau.
Zainab binti Jahsy masuk Islam dari dulu. Ia pernah berhijrah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suaminya terdahulu bernama Zaid bin Haritsah (bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Zaid mentalak Zainab dan setelah masa ‘iddahnya selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab. Umur Zainab ketika dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 53 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada bulan Dzulqa’dah tahun 5 Hijriyah sebagaimana pendapat Al-Waqidi dan Ibnu Katsir. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Zainab binti Jahsy meninggal dunia pada tahun 20 Hijriyah.
Keutamaan Zainab binti Jahsy
1- Allah memuliakannya dengan penyebutan pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ditalak Zaid sebagaimana disebut dalam ayat,
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)
2- Ayat hijab turun berkenaan dengan pernikahan Zainab binti Jahsy yaitu firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)
3- Ia sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedudukan Zainab binti Jahsy begitu mulia di sisi Nabi karena ia adalah satu-satunya istri beliau yang paling dekat dengan beliau dari sisi kekerabatan, Zainab adalah puteri dari bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ibnatu ‘ammatihi).
4- Zainab binti Jahsy sangat terkenal dengan banyaknya ibadah beliau. Sampai-sampai Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat wanita yang sangat baik agamanya, paling bertakwa kepada Allah, paling jujur perkataannya dan paling penyayang selain Zainab binti Jahsy.
5- Zainab binti Jahsy sangat terkenal wara’. Ketika Zainab ditanya tentang Aisyah mengenai fitnahan selingkuh (haditsul ifki), Zainab menjawab, “Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
6- Zainab binti Jahsy sangat semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dibuktikan bahwa Zainab tidaklah berhaji lagi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terakhir bersama beliau dalam haji wada’. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta istri-istri beliau untuk menetap di rumah sepeninggal beliau. Hanya Saudah binti Zam’ah dan Zainab binti Jahsy yang tidak berhaji bersama istri-istri Nabi lainnya di masa Umar bin Al-Khattab.
Bukti lain kalau Zainab sangat ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidak mau mengenakan wewangian ketika masa berkabung saat meninggal saudara laik-lakinya. Ia mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berbicara di mimbar,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kalau ditinggal mati suami, maka berkabungnya selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335)
7- Zainab binti Jahsy sangat senang berinfak atau bersedekah. Setiap harta yang sampai di tangannya, ia gunakan untuk berinfak kepada lainnya. Ketika ia meninggal dunia, ia tidaklah meninggalkan satu dirham atau dinar karena ia telah gunakan semuanya untuk bersedekah. Sampai kain kafan untuknya yang akan diberi oleh Umar, ia wasiatkan untuk disedekahkan. Ketika meninggal dunia, yang ia tinggalkan adalah rumahnya. Ini menandakan banyaknya harta yang telah beliau infakkan. Beliau disebut juga dengan Ma’wal Masakin (tempat kembalinya orang-orang miskin).
Semoga pelajaran dari Zainab binti Jahsy menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
—
Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Jumat sore, 20 Rabi’ul Awwal 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com